Selasa, 27 Oktober 2015

Pak Presiden dan Kabut Asap
Ditulis oleh : Alif Fahren
           
     Bencana kabut asap tahun ini merupakan yang terparah yang pernah melanda indonesia terutama bumi sumatera dan kalimantan. Sudah sekitar 3 bulan anak anak, remaja, orang dewasa bahkan lansiapun harus menghirup udara yang bercampur dengan asap pembakaran lahan gambut.

                Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho yang dikutip dari BBC News Indonesia tanggal 24 September 2015, , menyebutkan terdapat 1.143 titik panas atau hotspot di Pulau Sumatera. Dari jumlah tersebut, sebaran terbanyak berada di Sumatera Selatan dengan 724 titik api dan Jambi dengan 234 titik api.

                Akibat dari peningkatan titik panas tersebut berpengaruh terhadap berkurangnya jarak pandang dan memburuknya kualitas udara di beberapa kota di sumatera dan kalimantan. Tercatat Kualitas udara di Pekanbaru mencapai 984 PSI atau masuk dalam kategori berbahaya dengan jarak pandang hanya sekitar 200 meter, Sedangkan di kota Palembang tercatat tingkat pencemaran udara mencapai 550 PSI. Dimana dikatakan berbahaya apabila tingkat pencemaran udara berada di rentang 300 – 500 PSI.

                Hal ini mengundang tanda tanya besar apakah sudah ada keseriusan pemerintah dalam menangani bencana asap ini yang dari tahun ke tahun selalu terulang kembali dan semakin parah. Kebijakan memang sudah diambil oleh pemerintah seperti dengan mengerahkan helikopter helikopter pengankut air untuk memadamkan api, menerima bantuan dari negara negara tetangga untuk pemadaman api dan sebgainya.Namun hal tersebut menurut hemat saya hanya sebuah penanggulangan singkat saja dan terasa percuma apabila tidak ada pemikiran untuk menanggulangi bencana asap ini dalam jangka panjang.

                Sebenarnya ada beberapa opsi untuk menanggulangi bencana asap dalam jangka panjang yaitu dengan merevisi Undang – undang Nomor 32 Dalam Pasal 69 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mana disebutkan untuk pembukaan lahan dengan cara dibakar hanya dibatasi 2 hekta are perkepala keluarga saja. Menurut saya dalam pelaksanaannya sulit untuk membakar hanya 2 heta are saja karena pembakaran lahan bisa saja bisa merembes lebih dari 2 hekta are yang terjadi seperti sekarnag ini.

                Lalu cara selanjutnya adalah dengan memperketat izin pendirian perusahaan sawit maupun perusahaan pertanian lainnya. Ditilik dari dewasa ini karena makin banyaknya perushaan sawit yang berdiri mengindikasikan harus semakin banyaknya pembukaan lahan untuk kepentingan perusahaan tersebut yang mengindikasikan makin banyaknya lahan yang harus dibuat untuk kepentingan perusahaannya.

                Pada akhirnya bencana asap harus ditanggulangi secara konkrit agar masyarakat tidak terapas hak asasi manusianya dalam menghirup udara segar dan tidak ada lagi jatuh korban di masa mendatang.

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar